Akar
Suatu malam yang gerah, di sekotak kelas yang rada kurang bergairah; cowok semua.
Madin
memiliki multitafsir. Lihat saja, di jam yang telah menunjukkan setengah
delapan tepat setelah lalaran, kelas itu diartikan sesuai pemikiran, tekad, kondisi
badan, dan hal-hal yang nggak bisa gua jelaskan.
Ya, kelas
gua general. Bhineka. Bhineka seviews pose-posenya; ada yang nulis, hafalan,
tidur, ngobrol, ngelamun, setoran, kipas-kipas, ke wc, ngabsen, dan tentunya
lantang suara aktivis-aktivis bathsu itu!
Sebagai
santri yang kupingnya sampai panas dengar, “Jauh-jauh, mondok yang mempeng!
Bla…bla…bla…” Tentu, kalau emang nggak
ngantuk-ngantuk banget, ya mending lalaran kalau nggak nulis-nulis apa, kek.
Atau paling mentok malas, diam aja nyimak orang-orang pada ramai debat peroisan
pelajaran.
Tapi, di
satu sisi, gua lagi nggak respect soal itu. Pengen aja ngeriung sama mereka
yang duduk paling belakang pojok kiri dekat jendela; nyanyi-nyanyi,
gendang-gendang meja.
Melepas
segala kakunya orang-orang serius, enak aja ikut circle dia-dia pada. Nyanyi,
lepas pusing penat, juga tawa-tawa kalau ada yang fals atau gremeng nggak hafal lirik. Hebatnya, Allah
nih ada aja nyiptain manusia yang punya skill dalam
gendang-menggendang meja yang bisa se-asoy tukang gendang
koplo palapa.
Lagu satu,
lagu lainnya. Lirik satu, lirik lainnya. Genre satu, genre
lainnya. Dan apapun itu, kang gendang tetap “tak imbangi”, batinnya.
2 vokal dan 1 tukang keprok tangan malah semakin tersulut dalam sakau nada dan
melodi.
Sampai akhirnya
benar-benar capek, grup band dadakan itu gulung tikar. Nggak ada lagi meriah.
Si Kang Gendang malah ngelamun menerka sesuatu yang nggak pasti pada luar
jendela. Terus gua tepak jidatnya.
“Jangan
ngelamun, men. Ntar lu kesurupan, rame kelas!”
“Haha,
biarin. Biar libur!” Cengirnya.
“Harusnya
mah ikut-ikut nimbrung ngomong, noh!” Unjuk gua pada mereka yang masih ramai
berceloteh debat peroisan pelajaran. Diskusi.
Dia malah
natap gua.
“Siapa sih
Bat yang nggak pengen keren bisa aktif ngomong kayak dia-dia pada?”
Dia mulai
mengunek, keluh kesah yang ternyata itu cukup berarti. Gua hanya berusaha
menjadi pendengar yang baik saat dia ucap semua harap-harap yang dibarengi
segala usaha yang telah ia rancang. Hebat. Ternyata mutiara juga ada dalam pemikiran seorang anak bangku
pojok belakang yang sering dianggap remeh sama mereka yang berkompeten. Paling
berkompeten.
“Menurut lu,
gua harus gimana, Bat?”
Dia nanya,
gua jawab sekenanya. Tentu kalau dipikir-pikir gua malah jadi ingat Gus Miftah
atau Gus Iqdam yang lekat dengan mereka yang dicap
marjinal proletary.
Meski segala
sesuatu itu muncul dari mata, kita bisa timbul pikir dan berkesimpulan itu
karena sebab pandangan dari mata, tapi jika hanya dilihat dari itu, menurut gua
nggak akan cukup. Masih banyak aspek-aspek lain yang jadi pertimbangan.
Secara dalam
kaca mata umum, tentu jika ada sesuatu yang kotor, pasti akan dijauhi. Karena
nggak ingin terbawa kotor. Tapi bagi mereka yang pikirannya benar-benar bersih,
nggak seperti mereka yang bersih pikirannya hanya aku-aku, nggak sekerdil itu.
Logikanya,
kalau ada barang kotor, ya cuci. Jangan ditinggal, jangan dibuang. Sepatu,
baju, sarung, atau mobil sekalipun masa kalau kotor langsung lu buang? Bedain
antara kaya dan goblok!
Harusnya
kalau setuju dengan konsep di atas, kenapa nggak setuju kalau itu soal
memanusiakan manusia?
Lihat
orang-orang yang mungkin kena stigma nggak kompeten, malas, sering bolos, atau
apapun yang buruk dalam lingkup pondok, harusnya bukannya dijauhin, dijijik-in.
Deketin,
tanya, ajak, arahin. Kalau dia kotor, bersihin. Bukannya malah membiarin dalam kotor kubang lumpur.
Bukannya marah-marah atau merasa paling benar, katanya mau jadi khoirunnas
anfauhum linnas?
Semangat
buat mondoknya ya, Ganteng!
Komentar
Posting Komentar