Sayur

Hidup ini memang keras. Hidup ini memang kejam.

Semua hal dari hidup memiliki sisi keras dan kejamnya masing-masing. Bahkan hal itu berlaku bagi figur seorang ibu yang dinilai sebagai titisan Tuhan; pengasih dan penyayang.

Iya, awalnya aku nggak percaya. Sampai akhirnya, aku benar-benar nggak nyangka sama perempuan jenis ibu itu. Kenapa bisa sekejam dan seanarkis itu. Benar-benar bikin sesak. Nyesel aku kenal mereka. Nggak tau dan nggak mau tau lagi pokoknya. Kok kamu sejahat itu sama aku? Aku benar-benar kecewa sama kamu. Kita putus!

Haha.

Nggak, nggak.

Ternyata dalam selama perjalanan hidup ini, menurut gua, ada 2 jenis emak-emak yang meresahkan;

Pertama, emak-emak yang naik motor, sein kanan belok kiri.

Kedua, emak-emak belanja sayur.

Emak-emak jenis pertama ini tentu sangat meresahkan sekaligus membahayakan. Bagaimana nggak? Transportasi adalah kebutuhan. Bagaimana kita menyesuaikan kegiatan dan waktu dengan butuhnya pada kendaraan. Aman tentram jalan raya dan harga diri rambu lalu lintas seolah diinjak-injak oleh emak-emak ini. Jangan tanyakan pada pengendara yang terburu-buru dan sedikit menarik gas untuk lebih cepat pada tujuan, pengendara yang ayem tentram nyetir 40 Km/jam sambil minum es teh aja kalau kalau ketemu emak-emak jenis ini harus berhati-hati. Nyawa kita terancam jika saat berkendara terus didepan kita ada emak-emak naik motor sendirian dan tiba-tiba nge-sein. Serius, kalian seperti dihadapi oleh soal pilihan ganda ujian akhir yang nggak tau mana jawabannya. Kita harus pintar-pintar menebak dan berdo’a banyak-banyak. Kemana emak-emak itu akan berbelok dan kapan ia akan berbelok. Malaikat izrail udah standby. Daftar wasiat harus udah tersusun.

Dan ini nih, yang kedua. Setelah akhir-akhir ini harus berkutat dengan dunia pernyambelan, gua jadi harus sering-sering bolak-balik tukang sayur untuk persedian dapur. Tentu di tukang sayur, matriarki sangat dijunjung tinggi. Bagaimana para kaum hawa bertemu campur aduk bertumpuk di sana dan ada beberapa lelaki saja yang menunggu di luar. Mungkin suaminya, mungkin juga tukang ojek. Untuk ayang, mana mau diajak ke tukang sayur? Taunya cuma café estetik doang!

Bagaimana gua, seorang anak lelaki berpostur 173 cm, berkain sarung dan berkemeja, juga berkopeah hitam harus berhiruk pikuk dengan puluhan emak-emak yang mengobrak-abrik ratusan biji sayur mayur. Kalau bukan karena pelopor hidup sehat anak kamar dan kehadiran abang-abang kasir tukang sayur yang juga lelaki, gua nggak akan sudi menginjakkan kaki di toko sayur yang setara dengan luas 2 kamar pondok itu.

Gua ambil keranjang karena memang di situ sistemnya pakai keranjang untuk bahan-bahan yang ingin dibeli. Kita ambil sendiri bahan itu, masukan keranjang, lalu pada kasir untuk ditimbang dan bayar. Ya, gua ambil beberapa bahan aja yang sekiranya pas buat nyambel. Walalupun juga kadang terlintas aneh-aneh buat nge-mix bahan-bahan dan nyoba nge-chef dadakan.

Gua nggak peduli dengan jumlah bahan yang gua ambil dan permainan harga pasar yang entah sedang naik atau turun, yang penting gua beli bahan yang sekiranya cocok dan bisa bertahan agak lama, bayar, lalu pulang.

Nah ini. Tentu pas lagi di kasir kan barisan udah panjang oleh emak-emak dengan bahan masakannya yang menggunung. Kadang juga gua perhatiin apa yang mereka beli dan kadang ada beberapa bahan yang aneh. Tapi, gua husnudzonnya, pasti kualitas masak emak-emak nggak perlu diagukan lagi. Okelah.

Saat gua udah ngantri sabar dengan keranjang yang gua tenteng nunggu giliran, eh tiba-tiba nyerobot aja tuh emak-emak datang taruh keranjang belanjaannya di kasir, di depan gua pisan yang posisinya siap hitung-hitungan bayar terus pulang. Tentu gua yang pengusung kitab akhlaku lil banin dan juga bukan orang yang punya kawasan, ngalah-ngalah aja sama emak-emak.

Tapi, iya kalau satu emak-emak. Lah ini terus-terusan! Satu emak-emak aja nge-hisab belanjaannya aja banyak dan lama banget, belum lagi kalau tuh emak-emak ada bahan yang kelewat. Ia ambil dulu, mutar sana, muter sini. Kan kita nungguin ini! Manahan tuh toko sayur gerah banget lagi, belum lagi aroma bawang, cabai, sayur-sayur yang menyeruak, menusuk hidung setinggi 1 cm lebih dikit ini dan nyerongsong ke perut yang sedari pagi demo minta nasi. Asam lambung gua yang mewakili itu semua!

Ngantri bayar belanjaan sayur aja jadi sejenis dengan nunggu upin-ipin naik haji, Indonesia Makmur, dan nunggu chat dari dia; lama banget!

Dan hal itu kejam banget. Bagaimana figure ibu begitu nggak menggubris keperikemanusiaan. Makna sila kelima punah di tempat itu!

Hal itu kadang yang bikin menggoyahkan kesetian gua pada cobek dan segala kearifan lokal. Jadi terlintas dipikiran untuk selingkuh pada sambel sachet.

Nggak banyak yang bisa disampaiin buat emak-emak itu. Gua hanya berterima kasih, karena kalian, gua jadi tau arti sabar dan mengingatkan gua bahwa anak kecil, perempuan, hewan, dan tumbuhan nggak termasuk dalam hal yang boleh diperangi.

Intinya, makasih lah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa