Papan

Kadang bahagia itu sederhana. Seperti waktu itu, senang aja lihat mobil motor berlalu lalang. Di teras masjid, menyaksikan berbagai aktivitas setiap orang yang berbeda dengan strata lapis masyarakat yang berbeda pula. Ekspresi mereka cukup menjelaskan akan lelahnya.

Sesekali tarik nafas panjang dan melihat di sudut masjid itu, sekumpulan halaqah anak-anak yang sedang belajar Al-Qur’an. Ternyata masih ada luas dada di masa sempit pikir. Betapa ikhlas ustadzah itu, juga sebagian para orang tua yang rela menunggu.

Sampai beberapa saat, nyaring lantang bata lafal ayat itu merendah, berhenti. Pengajian selesai. Mereka semua salam pamit pada ustadzahnya, peluk orang tuanya yang sebagian sudah menunggu sambil membawa buku laporan dan bercerita kemajuan bacaannya. Meski sebagian yang lain juga menunggu dijemput.

“Kamu namanya siapa?” Tanya gua pada seorang anak lelaki yang sedang menunggu mana orang tuanya, untuk dijemput.

“Ghani.”

Lalu pembahasan meluas; tentang kegiatan halaqah itu, sekolahnya, rumahnya, sampai warung makan dengan masakan terenak di dekat situ. Cukup panjang, karena ternyata dia juga cukup interaktif. Sesekali ikut mencari topik.

“Kakak sarungan?”

Ia menunjuk sarung yang gua pakai.

“Iya, aku santri. Kenapa emang?”

“Oh, boleh tau pondoknya, Kak? Tulis di sini!”

Ia mengeluarkan buku laporan halaqahnya yang sudah penuh catatan. Gua tulis.

Dengan kesempatan itu, gua cerita-cerita tentang enaknya mondok. Penuh gairah dan tutur bahasa setara, agar doktrin ini berjalan dengan lancar. Whahaha. Dia malah nganggut-nganggut.

“Kelas 2 SD kayak aku banyak temannya, nggak?”

“Banyak. Di pondok tuh banyak temannya. Dari mana-mana. Enak bisa main sepuasnya.” Ucap gua berapi-api. Ekspresi meyakinkan.

“Ah, aku mau mondoklah!”

Gua terbahak dalam hati. Yes, berhasil!

Nggak lama tuh dia pulang, dijemput bapaknya.

Meski tetap aja masjid masih penuh hiruk oleh beberapa orang yang istirahat, sholat, main hp, ngerokok, ataupun anak-anak yang belum dijemput itu. Di depan gua malah ada anak mondar-mandir nendang-nendang serakan sendal. Nggak tau ngapain.

Gua yang lagi pakai helm, bersiap beranjak, malah tiba-tiba tuh anak nangis. Lah?

Gua tentu takut dikira ngapa-ngapain, karena memang tuh anak nangis di depan gua dan kencang.

“Eh, kenapa nangis? Kenapa?” Gua ngecep-cep, berusaha agar nangisnya berhenti. Panik, tentu.

“Aku belum dijempuuut….” Terus nangis lagi.

Lah? Yah. Emang sih di masjid teman-teman yang lain banyak yang sudah pulang, udah rada sepi.

Dari pada dikira aneh-aneh, orang-orang pada ngelihatin, gua pastinya berusaha diamin lah. Emang gua apaan? Emang gua ngapain?

“Jangan nangis, dong. Anak pintar nggak boleh nangis. Teman yang lain juga masih ada yang belum dijemput. Tunggu aja dulu, sebantar lagi juga datang.”

Untungnya dia rada diam. Syukur-syukur.

“Kamu suka jajan, nggak?” Tanya gua di sela sisa sengguknya.

“Suka.”

“Jajan, apa?”

“Bakso.” Hingga akhirnya benar-benar diam. Lalu, duduk.

“Nih!”

Gua kasih 2 ribu. Anak kecil mah senang aja, pikir gua.

Dia ambil. Digenggam.

Sambil nunggu teman gua ambil motor diparkiran, nggak ada angin, nggak ada gledek lah itu anak nangis lagi. Kini lebih kencang. Haduh.

“Eh, kenapa lagi?” Gua tambah panik.

Sambil tangisnya, “Bakso mana dapat 2 ribu! Hiks.hiks..” Terus nangis lagi.

Nggak jahat kan gua ketawa di atas tangis orang? Anak siapa sih ini? Gua malah jadi niat nyulik beneran.

Ya, gua kasih. Buat beli bakso.

Akhirnya gua pamit, pergi, di atas motor. Meski dengan sisa tawa yang belum usai.

Ya Tuhaaan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet