Jingga
Nggak banyak yang bisa dijelaskan tentang putar roda onthel dan langit yang menjingga; cuma mau nyore.
Lupakan
sejenak untuk segala hiruk pikuk suasana pondok bertumpuk-tumpuk, enak aja
nikmatin angin sore sambil melihat lalu Lalang kendaraan di tengah kota.
“Mau makan
apa kita, Bat?” Tanya Si Pengemudi.
“Apa aja
yang penting enak.” Jawabnya tenang berapat kaki mengahadap kiri
teruncang-uncang angin.
“Tumben,
biasanya ‘apa aja yang penting murah!’”
“Haha. Kan
duit gua masih nyangkut 20 ribu.”
Ekspresinya
langsung mendatar saat ngelirik Si Pengemudi.
“Iya-iya
makan kali ini gua yang nanggung.”
“Haha.”
Nggak apa
kan ketawa di atas cemberut orang lain? Haha, ini namanya siasat kenyang yang
halal!
“Emang kalau
dipeluk, ada rasa hangat-hangatnya gitu ya, Bat?” Tanya-nya saat lampu hijau
menyala, pada muda-mudi pengusung dunia serasa milik berdua itu.
“Mau?”
“Gila lu,
Bat!”
“Haha.”
Tuhan nggak
perlu bersusah payah untuk ekspetasi hambanya, bisa keluar pondok ngonthel
sore-sore juga udah senang aja bagi 2 manusia bersarung itu. Melihat ramai lalu
Lalang kendaraan, deret rapih tukang dagang, dan hal-hal lain yang nggak bisa
mereka temui di pondok. Apalagi ademnya angin sore itu yang berhasil menggeser
posisi kipas glodak-glodak penuh debu di hatinya.
Atau seperti
hal-hal yang sering tersemat rejeki anak soleh sekalipun.
“Tuh kan
matanya!”
“Hehe.
Mubazir, Bat!”
Ternyata
paha kakak itu lebih murah dari paha ayam chicken yang naik seribu dengan dalih
gratis saos. Korban-korban strategi S3 marketing universitas ngadiluwih rada
ngulon dikit.
Langit malah
tiba-tiba mendung.
“Eh, Pir.
Sopir. Ayo kencengan dikitlah, mau hujan ini!”
“Hujan masih
air, tapi semangatku takan pernah berakhir!”
“Et, malah
ngeqoute lagi. Masih air sih masih air, kalau basah lu mau ganti baju di mana?”
“Haha.”
Nasi penyet
ayam + Teh manis hangat + Hujan + Adzan Maghrib = Uhuy.
Semoga betah
mondok ya, Ganteng!
Komentar
Posting Komentar