Huhah
“Emang kalau cowok bisa masak, boleh disebut banci?”
Setau gua banci adalah orang yang kelainan psikologis. Orang-orang yang hilang self-esteemnya. Untuk soal laki-laki memasak, apa yang harus dipermasalahkan? Nyatanya chef-chef yang laki-laki juga nggak kalah banyak. Malah kebanyakan laki-laki. Ah, begitu fundamentalis sekali orang-orang!
Meski pondok ini perlu berterima kasih pada kang-kang santri yang bagian masak 2 kali sehari untuk makan santri yang ribuan itu, gua nggak harus seserius dan capek-capek. Setiap orang ada bagiannya masing-masing, ada porsi mampunya masing-masing.
Dan sebenarnya, pembahasan tulisan ini hanya sebatas tentang nyambel. Ya, nyambel.
Tapi sebelum itu, kok bisa ada santri dapat kiriman paketan dari rumah itu ngirim cobek? Ya, cobek. Ulegan. Lumpang batu. Gua bingung aja, biasanya kan santri pada umumnya kalau paketan, paling kalau nggak barang penting yang tertinggal, ya pasti makanan. Entah jajanan atau masakan rumah. Lah tapi kok ini, malah paketan cobek batu. Esesnsinya apa? Jauh-jauh, berat-berat!
Bukan hanya itu, yang nambah gua garuk-garuk dan geleng-geleng kepala sampai pusing, ia juga bawa secabai, bawang, tomat, dan garamnya. Benar-benar niat nyambel. Maksud gua, kalau emang mau makan sambel, ya tinggal beli aja. Mau sambel bikinan atau yang sachet, semua ada di kantin. Nggak usah repot-repot nguleg, nggak usah bawa cobek batu yang beratnya hampir 4 kg itu. Iya kalau rumahnya masih Kediri-an. Lah ini, udah di luar Kediri. benar-benar nggak habis fikri. Di luar nurul!
Ternyata dengan berjalannya waktu, orang-orang sekamar yang awalnya terherman-herman dengan suatu trobosan itu, kini malah jadi pemuja cobek. Jadi pecandu nyambel.
Breakfast, nyambel. Lunch, nyambel. Dinner, nyambel. Everything dan everywhere, pokoknya tetap nyambel. Karena serius, makan dengan sambel itu rasanya beda. Damagenya itu loh. Lebih fresh, lebih plong, terus ketagihan deh sampai sekarang.
Karena memang, nggak perlu gua jelasin tentang manfaat nyambel yang sangat banyak itu, yang perlu lu tau, menurut penelitian internasional professor botak pitak minta dijitak, sambel itu dapat menambah selera makan. Ya, sambel itu seperti sihir. Semua makanan jadi terasa enak. Setelah adanya sambel, nggak ada lagi yang namanya makanan mahal atau murah, tanggal tua atau muda. Tempe orek jadi nggak perlu insecure lagi jika senampan dengan ayam geprek.
Nggak hanya itu, nasi hangat+gorengan+sambel adalah formula yang tepat. Sempurna. Sesimpel itu.
Nyambel selain tentang kuliner, selera, dan kekeluargaan, juga merupakan ajang pertandingan. Gengsi-gengsian berusaha untuk menjadi juara terbaik dengan hasil uleg sambel terbaik. Maka itu, setiap warga kamar mendadak nge-chef. Mereka semua mengeluarkan trik dan strategi untuk menciptakan sambel yang menggoyang lidah. Ada yang nyambel dengan strategi perlahan, satu tangan, hardcore, gaya kuli, goyang dombret, hingga nyambel dengan gaya frindavan sekalipun. Sambel-sambel hasil tangan itu memaksa semua lidah menyerah. Sambel hasil karya anak bangsa itu saling beradu dan dinilai dengan pedagogik. Pak Jokowi harusnya bisa bangga dengan fakta ini! Cuitan komentar dan tawa-tawa meledak mengudara. Tetap pada tetes keringatnya.
Tapi, pada suatu hari, skil nyambel dan harga diri gua dipertaruhkan.
“Orang kota mana bisa nyambel?” Cocot salah satu anak kamar. Gua nyengir aja.
Hingga cobek itu benar-benar dihadapkan di depan gua.
Aslinya gua nggak begitu ketar-ketir. Sama sekali. Gua yang selalu jadi juru kupas bawangnya emak gua di setiap masak, di setiap liburan, nyambel adalah lelucon. So easy!
Akhirnya, plastik percabaian duniawi itu gua raih. Gua ambil. Komposisi bahan gua atur sedemikian rupa. Ambil sesuai takaran, gua cuci. Sebagian dari mereka ada yang masih tetap nyengir sinisnya meremehkan, siap menjadi saksi sambel gagal.
Dengan bismillah dalam hati, cabai dan teman-temannya itu gua uleg sepenuh hati. Seperti anak sendiri. Satu per satu bahan gua masukin, diuleg. Juga butir garam-garam. Kebul asap gorengan dan ludah-ludah yang tertelan sudah menunggu. Untuk beberapa kunyah dan letup-letup nyinyir.
“Rul, jeruk nipis lu masih ada?”
“Ada, kenapa emang?”
Tanpa menjawab, jeruk nipis itu gua ambil, ter-list menjadi salah satu bahan. Gua tau, aslinya buat nyambel itu enakan pakai jeruk limau. Tapi adanya jeruk nipis. Ya nggak apa-apa sih. Boleh kita coba.
Dengan sedikit gedubrak-gedubrak ganteng, sambel gua akhirnya jadi juga. Sambel ala-ala siap disajikan. Siap disantap.
Tanggapannya?
“Waaah, mantaaap!”
“Widih!”
“Kok enak, ya?”
“Jago juga lu, Bat!”
“Pernah ngekos di Warteg berapa tahun?”
“Eh, gantian dong!”
Dengan kotor cobek yang menyisakan cemong sambel dan bercak minyak pada plastik gorengan itu mereka bertepuk tangan. Applouse standing.
Kemana sambelnya?
Tuh pada perut dan celemot sudut bibirnya.
Mereka bertepuk terhuhah-huhah.
Haha.
Itu baru nyembel, belum lainnya. Belum sampai megang kompor.
Pasti istri gua insecure membaca ini!
Yhahahaha.
NB; Untuk yang mau tau bahan, formula sambelnya, bisa kita japri di belakang layar!
Komentar
Posting Komentar