Daun

Bagaimanapun rencana Allah lebih indah dari segala apaapun yang kita rencanakan. Tentunya, Allah lebih tau mana yang terbaik untuk hambanya. Allah mengabulkan apa yang kita butuh, bukan apa yang kita mau. Itulah mengapa, tak boleh berburuk sangka pada Allah.

Entah kenapa, secuil nggak percaya aja. Bukan tanpa alasan, tau pedas cabai tanpa pernah sedikitpun merasakannya, gua kira kurang begitu bisa dipercaya. Tapi, dipertengahan Ramadhan, semua begitu terasa. Bersyukur dalam-dalam pada Allah.

Kebetulan liburan pondok jatuh di pertengahan Ramadhan. Tentu para santri menyambut suka ria. Setiap orang menyimpan pemikiran dan perasaan yang berbeda, sepeda onthel gua malah hilang. Nggak bisa gua jelasin tentang harga, perjuangan rawat dan menjaga, juga kenang-kenang. Capek nyariin hilang 2 minggu nggak ketemu.

Semua tempat udah gua puterin. Kesana-kesini pagi, siang, sore, malam. Selain ada dana amanah ortu yang andil dalam kerangka onthel itu, gua kuliah naik apa? Capek. Panas. Kenyataan, tak mengeluh.

Setelah semua usaha itu dirasa cukup, sebagai makhluk, kita hanya tawakal. Nggak perlu ditanya tentang do’a. Mengharap berkah Ramadhan, semoga onthel gua ketemu.

Di hari besok pulang, malamnya, semua barang para santri; tas-kardus bertumpuk. Siap diangkut tossa ke pondok induk,  tempat bis terparkir. Tapi sayangnya, barang gua terlewat. Benar-benar hanya barang gua yang nggak terangkut. Mau nggak mau, gua harus bawa sendiri. Berat itu dan tanpa bantuan orang lain.

Harus cepat, berat barang itu gua angkat siap ngelangkah. Sendal gua malah hilang. Sendal baru edisi perpulangan itu, gua cuma bisa gerutu. Ini injury time, men. Malam dan toko tutup. Besok pagi berangkat. Ya, kali nyeker.

Dengan sendal minjam, berat barang dan hati itu gua jalan jauh ke pondok induk, tempat bis terparkir. Kacau balau itu, pikiran konslet. Lelah badan dan kalut pikir, gua nggak bisa tahan. Gua pikir dalam-dalam, gua salah apa? Padahal kalau mau jujur, seharian itu gua fokus bantu ngurus rombongan perpulangan santri sampai nggak nafsu makan buka puasa, saking capeknya. Lebih-lebih setelah habis sholat isya, tarawih, witir di saat Sebagian orang mengenyampingkan itu. Karena saking sibuknya huru-hara perpulangan ribu santri itu. Di tengah jalan itu, gua tanya penuh tuntut, ‘salah apa, ya Allah?’

Capek jauh berat barang. Gau sampai di sana. Basa-basi, maaf-maaf, kembali. Nafas berat lagi-lagi terbuang kasar. Dingin angin malam, nggak begitu membantu. Hati gua tetap panas. Jalan, jalan, setapak. Melewati lalu-lalang santri dengan sumringah mereka. Kebon tebu, pohon jagung, pohon manga. Gelap bambu-bambu. Kamar per kamar, kumuh. Huuuh, sepeda gua ketemu!!! Di pojok suatu sudut penuh kayu-kayu. Dan itu emang sepeda gua. Gua tau betul. Selesai-in urusan dengan mereka, sepeda itu gua bawa pulang. Pergi ke kamar, ketemu Si Ipung, minum es, lalu berita senang-senang sepeda ketemu. Eh, dia malah nawarin gembok yang kebetulan lagi butuh.

Gua sedikit terpukul. Gua jadi nggak enak sama Allah. Udah berperasaan nggak-nggak. Barang tertingggal dan berat capek ternyata ada hikmah di sana. Ada rahmat Allah. Lalu, penuh syukur, ‘mungkin ini jawaban atas do’a gua!’ Makasih, Ya Allah.

Pulang itu datang. Santri, kehangatan, dan lepas rinddu-rindu. Setelah bercakap-cakap dan pusing, ikut senang aja lihat mereka senang. Semua pada hangat keluarganya masing-masing. Ayah, ibu, abang, adik, makasih udah jemput.

Di mobil, semua penuh hangat kebersamaan yang kembali terasa. Pembicaraan kemana-mana.

“Lah, itu sepeda kok bisa hilang, Na?”

Terus gua certain semuanya.

“Alhamdulillah. Ibu udah do’ain siang malam biar ketemu tuh sepeda. Biar lancer kuliahnya. Akhirnya ketemu juga. Mana di akhir-akhir waktu pisan.”

Deg.

Nyatanya, bukan gua yang hebat. Tapi, do’a ibu yang kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa