Bawang

Sulit rasanya jika harus membahas tentang kata santri. Segala hidup, takan pernah meredup. Berulang kali lidah ini kelu, pikir ini berpendar, hati ini gusar. Memang teralu banyak akan hal-hal yang nggak bisa dijelaskan. Nggak mampu dijelaskan. Nggak akan mampu.

Santri, manusia kuat itu tercipta dari beberapa unsur; tekad, niat, harap, usaha, dan do’a-do’a. Nggak ayal santri yang dikenal selalu ramah murah senyum pada siapapun ini juga harus melewati langkah yang panjang. Nggak perlu membahas tentang bentur kegiatan belajar dan sosial, semua sudah dimulai semenjak menjadi santri baru.

Nggak banyak kata yang bisa gua jelaskan, begitu terenyuh pada mereka.

Dengan sedikit ada kesengajaan, gua harus ke pondok cabang; ada sesuatu. Menunggu di sebuah teras, mengamati sekitar pondok yang serasa nggak pernah sepi. Nggak jauh dari tempat gua, seorang bapak, ibu, dan anak perempuanya terduduk berserak barang-barang. Terka gua, 2; kalau nggak karena mau boyong, ya karena mau daftar santri baru. Tapi, mereka begitu sumringah, kadang malah diam. Sulit gua menyimpulkan.

Akhirnya dengan gua sibuk dengan urusan gua, mereka sibuk juga dengan urusan mereka. Sampai di suatu titik, kesekian kali beradu temu, mimik wajah mereka berbeda. Penuh sendu. Akan haru.

Sang Bapak sibuk akan bawa barang-barang berat besar itu, Sang Ibu runtut menuntun anaknya ke gerbang. Sepertinya, ia memang santri baru. Pengurus pondok putri itu telah bersiap, menyambut mereka beserta banyak barang itu. Bapak itu hanya tersenyum getir. Sekenanya saja membalas senyum pengurus pondok putri itu. Lalu, terdiam. Membiarkan detik waktu, mulai itu, ia berikan pada ibu dan anaknya. Sang Ibu benar-benar sedu sedan menerima peluk erat anak peremuan yang sangat ia cintai itu. Aslinya ia sangat ingin menangis, melebihi ledak tangis anaknya yang meraung nggak ingin pisah. Tapi, apa bisa? Apa boleh? Itu hanya akan membuat rintik tangis anaknya semakin deras. Ia berusaha untuk menguatkan anaknya dari hatinya yang pilu. Rapuh. Ringkih. Merintih. Perih.

Dan gua? Waaah! Jadi pengen ikut nangis anjir. Hal itu bisa benar-benar terjadi kalau gua nggak cepat-cepat buang muka dan dari selidik tatap Kang Bahrul di samping gua.

Belum lagi, selain dari itu, pernah suatu hari gua memutuskan untuk beli makan di pondok induk. Selangkah dua langkah menahan lapar dan lemas lunglai perut belum diisi sedari pagi. Sesampainya di sana, alhamdulillahnya nggak begitu ramai, nggak harus mengantri. Sambil menunggu dibungkusnya nasi dengan lauk yang gua pesan, terdengar sebuah sengguk halus. Tengok kanan kiri, terlihat di pojok tangga dekat pot bunga yang melayu, seorang anak kecil lelaki dengan kopehanya yang nggak sepenuhnya lurus sedang menelpon. Karena memang, selain nasi dan lauk, warung itu juga membuka wartel hp tulalit bagi santri yang ingin komunikasi via sinyal suara.

Dengan sesekali curi pandang, sengguk itu semakin keras sampai akhirnya benar-benar rintik. Air mata itu menetes, mengalir pada lembut pipinya.

“Aku nggak betah, Bu. Aku mau pulang!” Rengeknya di antara sengguk.

Lagi-lagi hal itu memaksa gua harus jadi manusia melankolis. Nggak bisa dicegah akan sedih haru yang menggelayuti. Sudah terlanjur melihat itu.

Gua malah jadi ingat gimana dulu, jauh-jauh dari rumah nggak kenal siapa-siapa. Belum usai akan masalah bahasa jawa yang menjadi penghubung bicara, susahnya jadi anak pendiam untuk kata sosial pondok pesantren yang plural dan general. Di bulan pertama harus kemana-mana dan apapun sendiri, dengan tetap harus menahan sesak rindu orang rumah dan sesekali terpaksa harus meledak juga nggak tahan waktu saat nelpon. Sama seperti santri kecil itu. Sedih kalau diceritain mah.

“Kang? Kang? Nasinya, Kang!” Tegurnya membuyarkan lamunan.

“Eh, iya. Jadi berapa, Kang?”

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dosa

Dompet