Alamanda

Meskipun belum bisa merasakan manisnya jadi orang cerdas, tapi sepenuhnya bersyukur bisa duduk, dekat dengan orang cerdas. Alhamdulillah.

Senang rasanya, akhir-akhir ini gua bertemu dengan orang yang luar biasa; seorang akdemis S3 dan dosen, berpuluh tahun menjadi santri dan pengajar, aktivis dan pemerhati seni, pecinta ekologi, seorang penulis, dan bukunya banyaaak banget!

Sedari pondok menuju Nganjuk hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam-an. Dengan 2 motor, 4 orang santri terpaksa melepas kopeah hitamnya demi memakai helm yang mungkin saja msih dianggap SNI oleh Kementrian Perindustrian. Karena memang sudah janjian sebelumnya dengan beliau, bertemu setelah dzuhur.

Setelah melewati beberapa lampu merah, melabrak polisi tidur, dan ngucek-ngucek mata kelilipan. Ternyata pas udah sampai lokasi, kami nggak ketemu beliau. Karena emang beliau masih di UIN Tulung Agung, masih ada urusan dan mendadak. Permohonan maaf kami terima.

Karena memang baru pertama kali ke rumah beliau, kami bertanya-tanya tentang persis mana rumahnya setelah google maps menunjukkan telah sampai. Ketok rumah, tanya warga. Akhirnya ditunjukkan rumah beliau.

Penggambaran tentang rumah beliau, meski tidak tingkat, bangunannya sangat luas memanjang. Diapit oleh kebun warga dan rumahnya dihiasi oleh berbagai tanaman yang sangat familiar. Adem. Sejuk. Asri. Jadi betah.

Sebelumnya kami disambut oleh istri beliau dan disalami oleh yang kayaknya putra beliau. Istri beliau menyuguhi kami teh hangat dan cemilan ala kadar. Lalu, kembali ke dalam.

Karena memang di dalam nggak bisa ngerokok, bagi para kaum penganut nikotin dan tar itu, mereka mencari ruang. Dan halaman depan rumah beliau di bawah pohon mangga adalah jawaban yang tepat. Sebagian masih ada yang di dalam, gua dan kang iwan ke ‘cafĂ©’ halaman depan rumah itu.

Duduk di bangku berbahan batang kayu, di bawah pohon mangga, semilir angin, nyebat, dengan samar-samar lagu Jason Ranti, gua nunggu beliau sambil ngobrol tipis-tipis.

“Istri beliau kayaknya waktu masih muda, cantik ya?” Tanya usil manusia dengan tinggi 147 itu.

Karena emang kalau mau jujur, dilihat secara objektif, nggak aneh-aneh, istri beliau walau sudah rada berumur, tapi masih cantik. Dengan penggambaran tinggi yang semampai, berat ideal, kulit cerah, jalan gagah, hidung mancung, dan senyum ramah sudah cukup menggambarkan.

Tapi, pada saat itu, yang jadi konsen gua bukan tentang cantik tidaknya istri beliau. Gua cukup ada yang terbesit tentang sikap beliau yang menyuguhi kami, lalu pergi tanpa mengajak obrol sedikit pun. Mungkin bagi sebagian orang ada yang menangkap, bahwa beliau adalah orang yang kurang menghargai tamu. Membiarkan tamunya diam, duduk nggak membicarakan apa-apa. Planga-plongo, yang seharusnya ada sedikit basa-basi penyambutan tamu.

“Dari mana?”

“Ada Keperluan, apa?”

“Naik apa?”

“Perjalanan berapa jam?”

Kan, bisa. Tapi, beliau setelah menyuguhi, berlalu begitu saja. Seolah membiarkan tamunya dalam kebisuan. Ketidakenakan. Sungkan.

Tapi, kalau gua malah beda nagkapnya. Malah kagum. Secara beliau udah memenuhi kewajibannya sebagai tuan rumah untuk hak tamunya dengan menyuguhi minuman dan makanan. Juga tentang mempersilahkan masuk, meski hanya di ruang tamu. Lalu, untuk berlalunya beliau tanpa basa-basi sedikitpun, tanpa ikut bergabung dan melayani kami dengan pembicaraan yang sepantasnya, menurut gua itu udah bukan kewajiban beliau lagi. Hal itu masuknya udah ke ranah status suami istri. Batas atitude seorang istri yang ditinggal seorang diri, tanpa suami di rumah, dan harus melayani orang lain. Tamu suaminya, yang nggak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

Terus gua malah teringat kisah dalam sebuah buku yang judulnya gua lupa tentang istrinya sayyidi, Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim, yaitu Ummu Salim. Bagaimana beliau ketika menyambut tamu suaminya dan sedangkan suaminya sedang tidak ada di rumah, setelah menyuguhi tamunya, beliau bersembunyi di dapur ataupun di jemuran. Berjam-jam. Di tengah terik panas Kota Tarim. Meskipun Habib Umar sudah datang. Beliau hanya berhadapan dengan tamu itu jika memang ada perintah dari suaminya. Selain itu, beliau menyingkir. Menghindari fitnah dan hal-hal buruk dari penglihatan dan pikiran. Masya Allah!

Kayaknya emang perempuan tuh kodratnya kayak gitu. Pantasnya. Bukannya nggak boleh aktif, berisik, celoteh, dan bentuk pengekspresian diri. Bukan. Boleh-boleh aja. Cuma kadang masih jarang ada perempuan yang tau batasnya saat ia menjadi anak dari orang tua, kakak dari adik atau adik dari kakak, murid dari guru, pasangan dari pasangan, atau status hamba dari tuhan sekalipun.

“Bagaimana caranya?”

Ya belajarlah, Cantik!

Katanya mau jadi sebaik-baiknya perhiasan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baik

Dompet

Dosa