Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Angkot

Dalam masa pembelajaran kita pada hidup, ada satu hal yang menjadi koreksi: kita nggak boleh salah. Bagai bangkai yang menjijikan, kita dilarang untuk salah, sampai takut. Hingga menimbulkan persepsi, bahwa salah adalah kalah. Sedari kecil, pada bersikap atau sekedar mengerjakan tugas sekolah, penuntutan akan benar begitu terasa. Bukan maksud hati untuk tetap salah dan nggak boleh benar. Bukan seperti itu. Tapi nyatanya, ujung dari ini, akan mengarahkan pada ekspetasi kesempurnaan. Manusia yang sempurna, adalah manusia yang tidak manusiawi. Manusia adalah salah dan lupa yang tentu. Itu kenapa, saat mereka menghadapi salah dengan ketakutan; bukan kebenaran, tapi malah pembenaran. Teruslah hidup! Jangan takut salah dan jadilah beda! Pondasi sukses dari salah itu lebih kuat, dan beda adalah harga mati dari sebuah jati diri. Itu kenapa, nasihat perjalanan itu kembali terngiang di antara deru mesin, knalpot dan klakson, juga orang-orang pemburu waktu. Katanya, “Kalau kamu mau dihargai orang...

Ukhuwah

Di acara HBH kemarin, di sela bahagianya atas duduk paling depan dan memandang jelas Gus Reza, Gus Nabil, Gus Izzul, Gus Anas—menyayangkan ketidakhadiran Gus Melvien dan Gus Rouf—ada hal yang menjadi catatan: catatan yang menampar. Setalah Gus Izzul memberikan sambutan atas nama yayasan, Gus Reza menyampaikan pengarahan kepada hadirin seisi Gedung besar itu: “Saling terbukalah, jangan malah saling bersembuyi. Hal yang disembunyi-sembunyikan akan berdampak suudzon, dan suudzon akan menimbulkan fitnah!” “Di setiap acara, Yai Imam sering menyampaikan, ‘al-ukhuwah sababul quwah, persatuan sebab kekuatan.’ ” Deg! Gua menyimak, menulis, termangu. Meskipun ini konteksnya lembaga, dirasa tetap  relevan untuk segala lingkup kerja tim: keterbukaan dan relasi adalah poin pentingnya. Di mushofahah, menjadi orang kedua untuk bersalaman pada tangan-tangan yang bersih untuk harapan dan bersentuh pena, dari  kotor serbu harapan khalayak yang tanpa bersentuh pena. 

Combo

Syawal dan pesantren menjadi momen manis, relationship goals. Hari di mana berakhirnya waktu liburan dan segera kembali ke pondok. Melihat wajah-wajah lama yang terkesan baru, juga cerita-cerita segar yang dibawa olehnya. Sebut saja, kala itu, pondok seketika menjadi begitu permai dan syahdu. Ukhuwah basyariyah begitu terasa: semua orang, semarak salam. Entah ia tua atau muda, senior atau junior, mahasiswa atau siswa, pengurus atau santri, guru atau murid, orang jauh atau orang dekat, akrab atau nggaknya, semua bersatu padu, larut dalam jabat tangan “Minal aidin, ya!” Lihat senyum-senyum itu, tangan yang terulur, ucapan tulus hingga yang sedikit kaku, itu cukup mengharukan. Jujur, gua selalu suka momen itu. Hal lain, yang menjadi euforia yang lain, yang menjadi suka gua yang lain dan cukup ditunggu: book show! Dalam hal ini, rasa-rasanya Maul menjadi partner yang baik, -sekaligus lawan yang sengit. Ia yang jebolan prodi Tadris Bahasa Indonesia, cukup sudah untuk pede sang ‘sastrawan’. ...

Dompet

Kala itu, menjadi sebuah pembelajaran: bahwa seenggaknya kita, harus sadar. Buku itu menjadi titik awal yang penting, sebuah usaha untuk mencoba memeluk diri sendiri. Entah kenapa, dari sekian pembahasan hebat, penjelasan itu terasa begitu mengena, membekas dan menyisakan renung. Dari sebuah buku yang berjudul, “Jatuh Cinta Kepada-Nya” , Dr. Fahruddin Faiz tampak terampil saat menyajikan pemikiran yang benar-benar membuat berpikir, pemahaman yang benar-benar membuat paham. Sebuah konsep luar biasa dari  Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang menjadikan cinta sebagai jalan nafas hidupnya, perihal suatu hal yang dinamakan ’ridha’. Ada  kutipan menarik yang coba gua jelaskan pribadi, bahwa “Tidak masalah jika kita berdo’a agar Allah ridha kepada kita. Di sisi lain, padahal Allah sangat sayang kepada hambanya, sudah jelas Dia ridha. Tapi pernahkah kita sesekali berpikir, bukan berdo’a menuntut agar Allah bisa ridha kepada  kita, tapi kitalah yang bisa ridha kepada A...